Rabu, 07 Desember 2011

Akuisisi Bank Mandiri Tak Melanggar Etika Bisnis

JAKARTA - Ada aroma tak sedap dari proses akuisisi Bank Sinar Harapan Bali (Bank Sinar) oleh Bank Mandiri, yang sebelumnya akan diakuisisi oleh Bank BNI. Tapi, Bank Sinar menegaskan tidak ada hak eksklusif  bagi keduanya. 

"Seluruh proses kerja sama antara Bank Sinar dan Bank Mandiri telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Direktur Utama Bank Sinar IB Perdana, kepada okezone saat dihubungi di Bali, Kamis (6/12/2007). 

Perdana juga membantah, tudingan adanya pelanggaran etika bisnis baik oleh Bank Sinar maupun oleh Bank Mandiri. 

Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Sinar untuk memenuhi sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Dalam API itu bank-bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan modal minimum sebesar Rp80 miliar per 31 Desembar 2007, maka statusnya akan diturunkan menjadi Bank dengan Kegiatan Terbatas (BKTI).

"Untuk pemegang saham Bank Sinar memutuskan untuk mengundang beberapa calon investor yang bersedia untuk menambah modal," ujarnya. (rhs)



Sumber : http://economy.okezone.com/read/2007/12/06/21/66235/akuisisi-bank-mandiri-tak-melanggar-etika-bisnis

Kamis, 20 Oktober 2011

Etika Bisnis Ciptakan Tatanan Usaha Lebih Baik


Etika Bisnis Ciptakan Tatanan Usaha Lebih Baik


Yogyakarta (ANTARA News) - Manajemen dan kemampuan wirausaha yang dilandasi etika bisnis diharapkan mampu menciptakan tatanan bisnis nasional yang lebih baik, kata Direktur Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Heru Kurnianto Tjahjono.

"Etika bisnis merupakan sebuah nilai yang terinternalisasi dalam diri seorang pebisnis. Jika kepribadian seorang pebisnis telah bagus, maka bisnis itu juga akan bagus dan harmoni," katanya di Yogyakarta, Selasa, sehubungan dengan kerja sama Magister Manajemen UMY dan Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA) BPC DIY.

Contohnya, nilai kejujuran yang ada dalam diri seorang pebisnis. Etika yang terinternalisasi dalam diri seseorang jauh lebih baik daripada aturan-aturan yang dipaksakan.

"Begitu pula dalam berbisnis, pebisnis yang jujur lebih baik daripada pebisnis yang dipaksa jujur. Oleh karena itu, penyeimbangan dimensi teori dan praktik dalam pembelajaran ilmu manajemen merupakan hal yang sangat krusial," katanya.

Menurut dia, hal itu dapat meningkatkan kemampuan melakukan inovasi dan pengambilan keputusan berbasis pengetahuan dan keterampilan bisnis yang unggul dan dilandasi nilai-nilai etika.

Selain itu, juga perlu implementasi program-program kewirausahaan terapan yang terpadu. Kegiatan tersebut dirancang untuk mensinergikan antara teori dan praktik dalam sebuah aksi nyata.

Ia mengatakan, program tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas akademik dan membangun keunggulan para praktisi bisnis khususnya mahasiswa Magister Manajemen UMY.

"Dalam membangun etika dalam diri mereka, jika berhasil akan membawa dampak harmoni dan teratur bagi lingkungan bisnis itu sendiri," katanya.

Ketua AMA BPC DIY Fransisca Diwati mengatakan, etika merupakan hal yang penting dalam bisnis dan wirausaha. Kerja sama kedua institusi didasari pada kesamaan prinsip tentang etika bisnis dan berupaya untuk menerapkan etika tersebut.

"Saya berharap kesamaan prinsip tersebut mampu menjadi fondasi yang kuat bagi kerja sama kedua institusi dan akan terlaksana dengan baik," katanya.(ANT/K004)

Etika Bisnis, Saat Moral Jadi Kebutuhan


Deputi Bidang Pencegahan KPK, Waluyo bercerita di depan peserta workshop Etika Bisnis di Pertamina. Banyak perusahaan yang umurnya puluhan tahun bahkan ratusan tahun dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan pegawainya pun bangga karenanya, pelaksanaan etika bisnis dan Good Corporate Governancenya menjadi salah satu sustainable competitive advantage. Waluyo menyebut Shell, BP, GE, Johnson and Johnson, sebagai di antara perusahaan yang dimaksud. Sebaliknya perusahaan-perusahaan besar banyak yang bangkrut atau sekadar ‘mati nggak, hidup pun ogah’ karena penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan etika bisnis tidak konsisten. "Lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis," kata Waluyo.
Kelemahan lain adalah dalam proses internalisasi code of conduct ke seluruh pegawai. Dalam bahasa Waluyo mereka mem-print code of conduct, lalu menempelkan di dinding (post), "Dan terakhir adalah pray, berdoa, ‘mudah-mudahan pegawai saya membacanya," Waluyo setengah bercanda.

Kesalahan lain adalah adanya intervensi dari beberapa pihak. "Nantinya seluruh BUMN itu free for doing leadership tanpa harus ada intervensi," katanya.

Kalau seluruh BUMN bergerak ke arah corruption free menurut Waluyo sangat powerful karena ada 137 BUMN. Waluyo memberikan batasan soal intervensi, bahwa sebuah korporasi akan maju dengan baik manakala dalam pengambilan keputusan tidak ada afiliasi yang meng-gantungi diri¬nya. "Saya melakukan ini for the best of the company," ujar Waluyo mengumpamakan ujaran CEO BUMN.

Intervensi yang dimaksud tidak berkaitan dengan pihak penginter¬vensi dalam kapasitas pemegang saham. "Intervensi itu adalah intervensi yang sifatnya BOD tidak independen karena ada keterikatan power yang lain," jelas Waluyo.

Apa kaitan satu sama lain antara korupsi, dilema etika, etika bisnis, dan Good Corporate Governance (GCG)?

Korupsi itu busuk; palsu; suap. Penyuapan; pemalsuan. Ini kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991). Kalau Kamus Hukum (2002) menyebutkan pengertian korpusi itu sebagai buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.

Diartikan juga di Kamus Hukum itu bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Boleh cari definisi korupsi di The Lexion Webster Dictionary (1978). Di situ ada pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.

Kalau Indonesia belakangan dikenal sebagai negara korup terkemuka di Asia, selain Filipina. Istilah korupsi itu berasal dari kata corruptio atau corruptus. Tentu bukan bahasa Indonesia atau bahasa Filipina. Atau bahasa Hongkong dan Singapura yang terkenal sarang korupsi sektor swasta. Corruptio adalah bahasa Latin yang berasal dari kata corrumpere, terakhir ini kata Latin yang lebih tua.

Bahasa Eropa ketiban tetesan bahasa tersebut. Lahirlan kata corruption, corrupt di Inggris; corruption (Perancis); corruptie, korruptie (Be-landa). Dari bahasa Belanda inilah konon kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.

Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001).

Banyak item-item yang termasuk tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Tetapi agar tidak bingung mengategorikannya, maka agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/orang lain;
(3) "dapat" merugikan keuangan/perekonomian negara.

Korupsi menurut buku kecil yang ditertibkan KPK Mengenali & Memberantas Korupsi sebenarnya tidak beda jauh dengan pencurian dan penggelapan. Hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.

Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.

Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.

Tingkatan korupsi itu lebih tinggi daripada sekadar tindakan mencuri dan penggelapan. Kalau pencurian -- mengutip buku KPK yang mengutip Pasal 362 KUHP -- adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.

Sedangkan penggelapan -- masih menurut buku KPK (dikutip dari Pasal 372 KUHP) -- adalah pencurian barang/hak yang dipercaya-kan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku. 


Lalu wilayah abu-abu?
Kalau dalam suatu operasi perusahaan ditemukan praktek-praktek yang ‘rasa-rasanya’ tidak diterima etika, tetapi ‘kok menentukan kelancaran operasi perusahaan,’ itulah dilema etika.

Kalau tetap dilakukan ya itu sudah pelanggaran, seperti suap, uang pelicin, pungli, dan lain-lain. Tapi kalau tidak dilakukan operasi perusahaan bisa-bisa terganggu serius.
Itu daerah abu-abu!

Itulah sebab setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.

Lho, kok, bisa begitu, ya? Bukankah orang berdagang terbiasa melakukan kecurangan? Mengurangi timbangan atau takaran? Menipu dan memperdaya pembeli? Yang penting untung!

Terakhir ini di dunia bisnis ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Konsep GCG mencerminkan sekali praktek bisnis yang dilandasi sisi moral dan etika.

Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary disebutkan, bahwa etika didefinisikan sebagai:
1. the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation.
2. (a). set of moral principles and values, (b) theory or system of moral values, (c) the principles of conduct governing an individual or a group.

Intinya etika adalah prinsip-prinsip moral dan nilai, pembeda yang baik dan buruk. Nah, kalau begitu mengapa orang melupakan prinsip bisnis yang dijalankan tokoh dunia yang namanya Muhammad bin Abdillah, sang Nabiyullah dan Rasulullah terakhir?

Yang diajarkan Muhammad Saw dalam berbisnis adalah nilai-nilai universal. (1) Siddiq (benar, dapat dipercaya); (2) Amanah (menepati janji); (3) Fathonah (memiliki wawasan luas); (4) Tabligh (berkomunikasi).

Seorang non muslim seperti Hermawan Kertajaya, yang kita kenal sebagai pakar marketing dari MarkPlus. "Bila ingin mempelajari prinsip dan etika bisnis, pelajarilah dari agama Islam dan juga Konfusius," tuturnya seperti dikutip oleh sebuah situs.
Konfusius?

Sebagai seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 500 SM, lanjut Hermawan Kertajaya yang juga keturunan Tionghoa ini, Konfusius adalah yang pertama yang berhasil menggabungkan berbagai keyakinan dari masyarakat Cina menjadi satu perangkat nilai luhur yang berdasarkan pada moralitas pribadi. Konfusius mengajarkan moral, perilaku baik, kemanusiaan, terus belajar, dan menjaga keseimbangan.

Aa Gym dan Hermawan Kertajaya dalam bukunya Berbisnis dengan Hati menyebutkan definisi untung dalam bisnis adalah kalau bisnis menambah silaturahmi, menambah saudara. Juga kalau bisnis mendatangkan untung untuk orang banyak. Itulah untung.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Ada visi-misi dulu, baru kita bicara nilai-nilai perusahan.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan ke-pantasan), serta menghargai HAM.

Etika bisnis sendiri merupakan bagian in-tegral dari nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG). Nilai-nilai GCG itu hanya lima kaidah:
(1) Transparansi (Transparency);
(2) Akuntabilitas (Accountability);
(3) Responsibilitas (Responsibility);
(4) Independensi (Independency);
(5) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness).

Apa, sih, gunanya GCG?
Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Bangkrutnya Enron, perusahaan besar di AS, belakangan ini juga akibat pelanggaran terhadap etika bisnis, yang notabene melanggar kaidah GCG.
Secara akademis orang menyebutkan kebutuhan GCG timbul berkaitan dengan prinsip agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Hal ini bisa dipahami, kalau melihat pengertian istilah GCG itu sendiri, yang merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan.

KPK bilang dalam situsnya, bahwa GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan perundang-undangan.
Masih menurut KPK, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling ber-hubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator; dunia usaha sebagai pelaku pasar; dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.

Dunia usaha berperan menerapkan GCG ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.

Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah GCG adalah etika bisnis itu sendiri. Jelas, korupsi sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan perusahaan atau bahkan negara bertentangan sekali dengan kaidah-kaidah GCG.

Pertamina Clean adalah episode kesekian dari upaya Pertamina untuk menerapkan etika bisnis dalam keseharian operasinya. Beban sejarah masa lalu yang pahit yang pernah memberati pundak Pertamina terus dikubur dengan upaya membersihkan diri dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan.

Disarikan dari Warta Pertamina, April 2007

Etika Bisnis


Beberapa waktu yang lalu, media memberitakan polisi menemukan gudang yang menyimpan timbunan kedelai. Konsekuensi dari penimbunan adalah distribusi barang tidak lancar dan barang menjadi langka. Kelangkaan akan menyebabkan harga naik karena ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Kemudian pada kondisi yang dianggap tepat, pengusaha mulai engeluarkan timbunan barnagnya sehingga keuntungan yang diperolehnya berlipat ganda. Dari sisi pengusaha enyimpan dulu barang dagangan dan menjualnya kembali waktu harga naik merupakan strategi bisnis yang jitu.
Sebaliknya yang terjadi dari sisi konsumen baik konsumen akhir, maupun konsumen antara yang menggunakan barang ini sebagai bahan baku proses produksi. Harga kedelai di pasar melonjak naik yang menyebabkan pengusaha tahu-tempe terperangah dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Kasus seperti ini tidak terjadi hanya pada kedelai, bahan pokok yang lainpun pada gilirannya ”dipermainkan”. Utamanya karena permintaan terhadap bahan pokok relatif tidak elastis, sebagaimana juga permintaan terhadap bahan bakar.
Harga-harga yang meningkat membuat masyarakat yang berkekurangan ”menjerit” dan kebingungan bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kasus bunuh diri menjadi lebih sering terdengar. Kemiskinan dan hilang akal kemana akan mengadu dan mendapatkan makan, apalagi dengan adanya tanggungan anak-istri sering membuat orang nekad menghabisi dirinya sendiri. Orang gila akhir-akhir ini menjadi lebih banyak ditemukan dipingir jalan, tertawa sendiri, buka baju seenaknya dan berbagai tingkah laku yang menunjukkan kehilangan akal sehat.
Kata kunci dalam bisnis adalah mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, dan dari kacamata ini tentu saja tindakan penimbunan hanyalah salah satu strategi untuk mendapatkan keuntungan. Namun kalau kita bertanya pada hati nurani terdalam, etis tidaknya menimbun bahan makanan yang merupakan hajat hidup orang banyak? Jawabannya pasti tidak, kecuali mata hati kita sudah buta.
Bagaimanapun dasarnya bisnis juga mengenal etika. Isu etika sebenarnya telah lama diketahui dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh kalangan bisnis. Dalam bisnis hal etika dapat dikelompokkan dalam empat tingkat.
Tingkat pertama disebut societal. Pemikirannya adalah menganggap kalangan bisnis sebagai mereka yang berhasil, sehingga masalah etika di jawab dengan mengaplikasikan prinsip kedermawanan untuk membantu mereka yang miskin dan kelompok masayarakat yang kurang beruntung dari pemahaman etika bisnis. Pada tingkat pertama ini saja sudah terbaca bahwa penimbunan bahan kebutuhan pokok menyalahi etika, karena sama sekali tidak membantu kelompok mesyarakat yang kurang beruntung.
Etika bisnis tingkat kedua adalah etika terhadap berbagai kelompok kepentingan yang erada diluar perusahaan (external stakeholder). Tindakan yang etis disini adalah enyangkut bagaimana perusahaan menangani kelompok-kelompok eksternal yang tekena dampak dari keputusan yang mereka ambil. Kewajiban apa yang harus dipenuhi perusahaan terhadap para pemasoknya? Pada masyarakat dimana ia beroperasi? Kepada pemegang saham? Intinya disini adalah pertanyaan berkaitan dengan kebijakan bisnis. Tindakan penimbunan adalah tindakan yang tidak beretika terhadap kelompok msayarakat dimana perusahaan tadi beroperasi. Juga merupakan tindakan yang tidak etis terhadap produsen yang menginginkan agar distribusi barang yang dihasilkannya lancar sampai pada masyarakat.
Etika bisnis tingkat yang ketiga dikenal juga dengan internal policy. Pertanyaannya disini adalah tentang bagaimana perusahaan mengelola hubungan dengan karyawannya. Kontrak kerja seperti apa yang disebut adil? Hak-hak apa yang dimiliki pekerja? Apakah yang disebut pekerjaan yang bermakna? Pada tingkat ini perusahaan memiliki kesempatan untuk responsif secara sosial pada stakeholder internalnya. Dalam kaitan dengan tindakan penimbunan tadi, seyogianya perusahaan menyadari bahwa ia telah bertindak tidak etis terhadap karyawan dengan memberikan mereka pekerjaan yang tidak bermakna bahkan tidak bermoral karena menyakiti dan merugikan pihak lain.
Etika bisnis tingkat keempat adalah adalah isu moral pada tingkat personal. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya orang-orang memperlakukan satu sama lain dalam organisasi. Apakah harus jujur satu sama lain apapun konsekuensinya? Dalam tindakan penimbunan, sangat boleh jadi penimbun tidak jujur pada rekan kerja. Setidaknya si penimbun ini telah memberikan pembenaran pada suatu tindakan tidak bermoral yang dilakukanya.
Sebenarnya spiritualitas di tempat kerja telah muncul ke permukaan sejak akhir tahun 1990-an, sebagiannya karena biaya sosial yang besar yang harus ditanggung pimpinan perusahaan karena mengabaikan etika, dan standar moral sehubungan dengan SDM, lingkungan, HAM, ataupun pembangunan masyarakat. Kasus Enron tahun 2000 dan MCI tahun 2001 adalah contoh dimana arogansi dan nilai-nilai tidak bermoral membawa kehancuran. Inti dari spiritulitas bisnis adalah memasukkan kembali unsur-unsur moral dan etika dalam bisnis. Jadi menata dan memperlakukan network dengan santun merupakan salah satu etika yang harus dipegang teguh dalam bisnis.
Berkaitan dengan masalah ini sebuah pertanyaan mendasar harus dijawab, ”bagaimana sebenarnya etika pengusaha kita”? Apakah mereka benar-benar memilikinya? Menimbun barang, memberi zat pewarna yang beracun, menggunakan formalin untuk makanan, mengimpor sampah (ingat: bahan baku asesoris yang diimpor dari kondom bekas), dan berbagai tindakan diluar etika lainnya adalah bagian dari bisnis mereka. Separah inikah hati nurani pengusaha yang melakukannya?